Cerita tentang semarak dunia hiburan zaman khilafah
Mungkin sebagian besar akan mengira era keemasan Islam identik dengan suasana religius; pemerintahan yang religius, kota yang religius, dan masyarakat yang religius. Orang akan membayangkan saat itu suasana kota berada dalam kekhusukan ibadah.
Alunan azan yang syahdu dari menara-menara masjid terdengar begitu indah memanggil orang-orang di pasar, di rumah, di kebun, di taman, untuk sujud dan rukuk di hadapan Rabb-nya. Malam-malam begitu gemerlap dengan lantunan ayat-ayat suci, gemuruh takbir dan zikir, dan kehangatan majelis-majelis ilmu.
Anggapan itu mungkin ada benarnya. Tetapi ada sisi lain yang menarik untuk disimak yang tampaknya jarang disinggung oleh para sejarawan Islam. Adalah semarak dunia hiburan yang tampaknya tabu untuk dibahas dalam sejarah peradaban Islam. Keadaan dunia hiburan memang tidak pernah menjadi sebuah bab atau pasal dalam buku-buku sejarah Islam yang diajarkan di sekolah-sekolah di negara-negara Islam. Entah di negara-negara Barat.
Sejak zaman kekuasaan Bani Umayah, beberapa kebiasaan zaman pra-Islam mulai dihidupkan kembali. Salah satunya adalah hedonisme. Khalifah dan keluarga istana adalah orang-orang yang sangat menggemari kemewahan dan hiburan. Ira. M. Lapidus, dalam Sejarah Sosial Ummat Islam, menulis, “hari-hari sang raja (khalifah) diliputi konsultasi dan resepsi, peribadatan, dan kesenangan pribadi seperti berburu, musik, wanita-wanita penari, minuman-munuman anggur, dan pembacaan syair” (hal. 126).
Philip K. Hitti, dalam History of the Arabs, menulis bahwa pada masa pemerintahan Bani Umayah, Mekkah dan Madinah menjadi kota pelarian bagi orang-orang yang ingin menghindari hiruk pikuk dunia politik. Mereka yang ingin memperdalam ilmu agama juga biasanya tinggal di kedua kota ini.
Pada saat itu, di Mekkah dan Madinah masih banyak para sahabat Nabi yang masih hidup yang tidak diragukan kesalehan dan keluhuran ilmunya. Sebut saja Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar. Bahkan, cucu Nabi, Hasan dan Husein beserta keluarganya juga tinggal di Madinah.
Mekkah dan Madinah memang begitu sakral bagi umat Islam sehingga kedua kota ini sangat tenang dan nyaman. Kondisi ini mengundang banyak orang untuk tinggal di kedua kota suci. Orang-orang kaya membangun villa dan rumah-rumah mewah di Mekkah dan Madinah. Musim Haji juga memberikan aliran uang yang besar untuk kedua kota suci. Berkat musim haji, geliat perdagangan semakin meningkat dan berdampak pada munculnya orang-orang kaya baru.
Dengan aliran kekayaan yang terus meningkat, kesakralan dua kota suci itu berkurang drastis. Kini keduanya berkembang menjadi pusat kenikmatan dunia. Tempat di mana semarak musik dan nyanyian Arab didendangkan.
Di Mekkah dibangun sebuah klub yang biasa dikunjungi para tamu yang menggantungkan jubahnya pada sebuah gantungan pada saat mereka bersenang-senang, bermain catur, dadu, atau sekadar membaca (hal. 296).
Para biduanita budak (qiyan) banyak berdatangan ke Madinah dan terus bertambah dari waktu ke waktu. Puisi-puisi cinta tumbuh seiring perkembangan situasi masyarakat. Rumah-rumah bordil (buyut al-qiyan) menjamur di Madinah. Di dalamnya para budak wanita bernyanyi dan meniupkan nada-nada lembut yang menghibur. Sementara tamu-tamu yang mengenakan pakaian mewah duduk-duduk di atas bantal empuk atau kursi segi empat sambil menghirup aroma rempah-rempah yang dibakar, meneguk anggur buatan Suriah dari cangkir-cangkir perak (hal. 297).
Dunia model saat itu juga sudah dikenal. Pada zaman pemerintahan Marwan, misalnya (Bani Umayah), di Madinah hidup seorang perempuan bernama Sukaynah (w. 735). Orang-orang memanggilnya Sayyidah karena dia anak Hussein bin Ali, cicit Nabi.
Diriwayatkan bahwa Sukaynah adalah wanita cantik dan hebat di zamannya. Selain karena status sosial dan ilmunya, Sukaynah terkenal karena kegemarannya akan lagu dan puisi, kepribadian, cita rasa, dan kecerdasannya. Itulah sebabnya dia menjadi kiblat model, keindahan, dan sastra di wilayah kota-kota suci.
Diceritakan bahwa Sukaynah sering mengeluarkan lelucon yang lucu. Orang-orang terpelajar dan pakar hukum yang datang ke rumahnya sering terhibur dengan candaannya. Ia juga memiliki model rambut yang unik yang ditiru banyak orang. Model rambut gaya sukaynah (thurah sukayniyah) menjadi sangat terkenal saat itu bahkan diikuti oleh kaum laki-laki, dan akhirnya dilarang oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Perempuan yang menandingi ketenaran Sukaynah adalah Aisyah binti Thalhah, seorang perempuan dari Thaif, kota peristirahatn musim panas warga Mekkah dan Madinah. Aisyah adalah keturunan bangsawan, memiliki kecantikan yang unik, dan semangat yang tinggi-tiga karakteristik perempuan yang sangat dihargai bangsa Arab. Konon tidak ada permintaannya yang ditolak. Permintaannya di depan publik lebih mengesankan daripada penampilan Sukaynah.
Ketika melaksanakan haji ke Mekkah, ia meminta kepala penyelenggara yang juga gubernur kota itu untuk menunda pelaksanaan salat berjamaah sampai ia selesai thawaf. Permintaan itu dipenuhi dan menyebabkan sang gubernur diberhentikan oleh Khalifah Abdul Malik. Aisyah menikah sebanyak tiga kali. Ketika suaminya yang kedua, Mush’ab ibn al-Zubayr-yang memberinya mas kawin satu juta dirham- memerintahkannya untuk selalu bercadar, ia menolak dan menjawab.
“Karena Tuhan yang Maha Terpuji dan Mahaagung telah menganugerahkan kecantikan kepada saya, maka saya berharap agar masyarakat bisa menyaksikan keindahan itu sehingga mereka dapat mengenal rahmat Tuhan kepada mereka. Oleh sebab itu, dalam kondisi apa pun saya tidak akan menutup wajah saya”.
Pada masa Abbasiyah, terdapat seorang artis yang amat terkenal. Ziryab namanya. Ia adalah musisi kebanggaan Harun al-Rasyid dan para putranya. Di Istana Baghdad, ia mencapai puncak popularitas sebagai seorang artis, ilmuwan, dan sastrawan. Ketenaran Ziryab membangkitkan kecemburuan gurunya yang sama-sama kondang, Ishaq al-Mawshuli. Karena itulah ia melarikan diri ke Kordova.
Pada saat Ziryab ke Kordova, Abdul Rahman, penguasa Bani Umayah di Spanyol sedang giat membangun dan berambisi ingin menandingi Baghdad. Di sini Ziryab diterima dengan sukacita oleh Abdul Rahman. Konon, Sang Amir sampai rela berangkat sendiri dari istananya untuk menjemput sang artis muda. Kini Ziryab tinggal bersama pelindung barunya. Dari Abdul Rahman, ia menerima bayaran 3000 dinar setiap tahun dan sebuah rumah mewah di Kordova senilai 40.000 dinar (hal.654)
Dalam waktu singkat, ia mengungguli semua musisi lain di kawasan itu. Selain dihormati karena menguasai 10.000 lirik dan nada lagu-yang ia yakini diajarkan oleh Jin setiap malam, Ziryab bersinar sebagai penyair, astronom, dan ahli geografi. Ia dapat membuktikan dirinya sebagai seorang selebritis yang halus, lucu, dan memikat. Itulah sebabnya dia menjadi populer di kalangan elite dan menjadi pencipta tren.
Pada masa itu, biasanya rambut dibiarkan tergerai panjang dengan belahan di atas dahi. Kemudian Ziryab memunculkan tren baru dengan rambut yang dipangkas pendek di atas alis. Dahulu orang minum dengan bejana terbuat dari logam, kini mereka menggunakan gelas. Hidangan-hidangan tertentu, termasuk asparagus, sebelumnya tidak populer. Tetapi kini menjadi menu favorit mengikuti Ziryab.
Ada juga Ulayyah, anak perempuan Khalifah Abbasiyyah, Al-Mahdi, dan saudara perempuan Harun al-Rasyid. Diriwayatkan bahwa Ulayyah adalah wanita boros dan glamor. Untuk menutupi goresan di dahinya, ia menjadi perempuan pertama yang mengenakan pengikat kepala berhiaskan permata. Akhirnya ikat kepala itu menjadi tenar sebagai ikat kepala Ulayyah dan ditiru oleh dunia model saat itu.
Sukaynah, Aisyah, Ziryab, Ulayyah adalah sedikit dari ratusan selebritis yang terkenal pada zaman keemasan Islam. Sementara fakta sejarah tentang dunia hiburan di dua kota suci memberikan gambaran kepada kita bahwa pada zaman itu, di mana pemerintahan Islam dijalankan, dunia hiburan tetap eksis dan semaraknya hampir bisa mengalahkan semarak religius masyarakat Islam pada zamannya, sekalipun itu di kota suci.
Kita memang tidak bisa menafikan bahwa dunia hiburan dengan segala hitam-putihnya ada di segala zaman dan akan tetap ada dan abadi sepanjang manusia ada.
Ditulis oleh Gun Gun Gunawan, Mahasiswa Center For Religious & Cross-cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM dan telah dimuat di laman https://www.qureta.com/post/selebritis-zaman-keemasan-islam